Menu

Mode Gelap

Pemerintahan

Giling Tebu Blora Mandek, APTRI Desak Manajemen Baru PT GMM Bulog

badge-check


					Giling Tebu Blora Mandek, APTRI Desak Manajemen Baru PT GMM Bulog Perbesar

KABARBLORA.ID – Semangat pengurus Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kabupaten Blora untuk memperjuangkan nasib petani tebu tetap tinggi meski menghadapi bencana akibat penghentian giling 2025 secara mendadak dan sepihak oleh PT GMM Bulog.

Menurut Ketua APTRI, Drs H. Sunoto, berbagai langkah telah dilakukan, mulai dari silaturahmi dan konsultasi ke Bupati Blora, audiensi dengan Ketua DPRD H. Mustopa, Wakil Ketua DPRD Lanova Chandra Tirtaka, hingga Ketua Komisi B Jayadi.

Terakhir, Senin (20/10/2025), atas inisiatif Bupati Blora Dr. H. Arief Rohman, pengurus APTRI dipertemukan dengan Direktur Bisnis Perum Bulog Febby Novita di ruang sidang DPRD Blora.

“Dari berbagai ikhtiar tersebut ternyata belum memberikan solusi yang menggembirakan bagi para petani tebu alias gagal untuk memperoleh jalan keluar mengatasi musibah yang saat ini sedang menimpa petani tebu,” ungkap Sunoto.

Pertemuan tersebut hanya menimbulkan ketidakpuasan dan trauma mendalam bagi pengurus APTRI maupun para petani tebu.

“Karena harapan dan solusi hanya diangan-angan saja, tidak ada langkah riil yang menjamin terselesainya persoalan mendasar yang saat ini menimpa kepada para petani tebu,” tegasnya.

Berbagai harapan petani tebu yang belum terpenuhi antara lain:

Penilaian Kinerja PT GMM Bulog

Sunoto meminta Bupati dan Ketua DPRD menilai kinerja PT GMM Bulog yang sejak mengelola pabrik gula selalu merugi. Tahun giling 2025 berhenti mendadak dan masih menyisakan 1.500 hektare tebu milik petani yang belum tertebang.

“Apakah kedepan masih layak dipertahankan untuk mengelola giling tebu 2026 di Kabupaten Blora atau diganti dengan managemen baru oleh pihak lain yang menjamin pengelolaan pabrik gula secara profesional dan membuat petani tebu gumuyu karena bisa merasakan manisnya rasa tebu bukan sebaliknya paitnya rasa tebu,” kata Sunoto.

Darmadi menyatakan dirinya syok karena penghentian giling dilakukan secara sepihak dengan alasan boiler rusak. Ia khawatir kejadian serupa terjadi tahun depan dan meminta perbaikan total atau penggantian boiler baru.

Pardiman menekankan bahwa tebu yang belum tertebang seharusnya dibeli langsung oleh manajemen PT GMM Bulog, bukan dialihkan kepada petani penyangga modal besar. Praktik ini dinilai bisa merusak harmonisasi hubungan antarpetani.

Wahyuningsih, mantan Kabag Tanaman Pabrik Gula GMM, menyampaikan pengalaman pahit saat membeli tebu petani yang belum tertebang. Banyak biaya di luar kalkulasi teknis yang harus ia tanggung, hingga menambah hutang. Ia juga menanggapi pernyataan Direktur Bisnis Bulog soal dana pengelolaan dari perbankan dengan bunga komersial.

“Mohon Pak Prabowo beli tebu kami karena kami butuh solusi bukan janji,” kata Wahyu, disambut tepuk tangan para peserta.

Agus Joko Susilo, mantan kepala desa Nglaroh, mempertanyakan seringnya kerusakan mesin dan rendahnya rendemen sejak PT GMM Bulog mengambil alih. Menurutnya, saat pabrik dikelola direktur sebelumnya, operasional berjalan lancar dan rendemen tinggi. Ia menuntut jaminan agar musibah serupa tidak terjadi pada giling 2026.

Kinerja Buruk dan Manajemen Kleptokrasi

Anton Sudibdyo, Sekretaris APTRI dan mantan anggota DPRD, menilai pengelolaan pabrik gula oleh PT GMM Bulog penuh kebobrokan.

“Mengapa pengelolaan pabrik gula yang selalu merugikan petani tebu dan pihak PT. GMM Bulog masih tetap dipertahankan,” ujar Anton. Ia menyebut manajemen saat ini menerapkan “Managemen Kleptokrasi” bukan “Managemen Investasi.”

Anton menekankan, jika PT GMM Bulog tidak mampu mengelola secara profesional, sebaiknya pabrik diserahkan kepada pihak lain yang mampu dan peduli pada kesejahteraan petani.

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending di Pemerintahan